Pernahkah teman-teman berfikir..??? bagaimana kondisi bumi kita ini 10 tahun ke depan, 100 tahun ke depan atau 1000 tahun ke depan. Apakah kondisinya sama dengan kondisi sekarang? Atau bahkan lebih baik? Atau malah tambah hancurrrr? Mungkin di otak kanan kita berfikir; “Aku khan hidup di masa sekarang, jadi tuk apa aku memikirkan 10 atau 1000 tahun ke depan???” iya benar, kalo kita melihat dari aspek ‘EGO”. Tapi kalo dilihat dari aspek sosial, jawabnya tidak seperti itu. Kawan-kawan, kalian semua nanti akan menghadapi peristiwa yang namanya “Married”. Dari kisah indah itu, tumbuh benih-benih penerus yang semakin hari semakin dewasa. Mantan benih tersebut juga kemudian memiliki benih baru, dan benih baru itu ..................dst. “Benih- benih baru” itulah yang bakal merasakan kondisi dunia pada 10 atau 100 tahun kemudian. Dan tahukah kalian? Benih-benih baru itu adalah darah daging kalian yang seharusnya kalian sayangi, cintai, lindungi, dan kasihi. Trus bagaimana menyampaikan rasa kasih kalian padahal jarak waktu antara kalian sungguh sangat jauh? Secara langsung, itu tak mungkin kawan-kawan lakukan. Yang bisa kalian lakukan adalah bagaimana menjaga kondisi bumi kita ini menjadi lebih baik, atau minimal tetap seperti kondisi saat ini, sehingga apa yang kita hirup, makan, minum dan yang kita lihat, dapat pula dirasakan oleh darah daging kita di masa yang akan datang.
Untuk membuat masa depan tersebut menjadi terkabulkan memang membutuhkan pengorbanan yang cukup besar. Namun bukan berarti itu tidak dapat terlaksana. Di beberapa daerah pedalaman, “kearifan lokal” dari suatu masyarakat dalam menjaga alam ini masih dapat kita lihat. Sebagai contoh, di suatu daerah pedalaman (kalo tidak salah, daerah itu adalah wilayah kajang di Sulsel), menerapkan suatu aturan yang mewajibkan penduduknya untuk menanam pohon dengan jumlah 2 kali lipat dari jumlah pohon yang ditebangnya. Tentu saja penerapan dari norma ini sangat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan. Yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan kawan-kawan sekalian yang memiliki pendidikan yang jauh lebih tinggi dari masyarakat desa tersebut, yang mana pengetahuan akan lingkungan dan dampak-dampaknya lebih kita ketahui dari mereka? Secara logika, jawabnya adalah kita seharusnya lebih menerapkan tindakan tersebut. Trus, bagaimana fakta yang terjadi di lapangan??? Apakah demikian?? Jawabnya ada di kepala kalian.
Seorang pemikir geografi pernah berkata: “jangan pernah mencoba untuk melawan alam, tetapi cobalah untuk membimbingnya. Namun ketika anda mencoba untuk melawannya, niscaya anda akan hancur”. Apa artinya??? Ini merupakan suatu ultimatum dalam menghadapi alam. Semakin besar perlawanan dan tindakan merusak yang dilakukan oleh manusia, maka semakin besar pula serangan balik dari alam. Perlakuan manusia terhadap alam ibaratnya seperti bumerang yang saat dilempar ke udara akan kembali kepada orang yang melemparnya. Untuk itu, agar malapetaka dapat terhindari, maka cobalah untuk membina alam ini, yang tadinya telah hampir mengalami kerusakan, maka kita sebagai manusia harus memiliki kesadaran dalam memperbaiki keadaan tersebut. Banyak bencana yang terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Sebagai contoh kecil, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, terkadang alam dijadikan tumbal, dimana banyak dilakukan penebangan hutan ilegal, pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah aturan, dan penggalian tanah secara sembarangan untuk keperluan bahan timbunan. Akibatnya apa? Bencana tanah longsor, banjir, dan kekeringan terjadi di wilayah tersebut. Ujung-ujungnya kan manusia juga yang kena......! hanya karena ingin mendapatkan keuntungan yang kecil, malah dapat kerugian yang cukup besar.
Oh iya, saya pernah mengikuti suatu kajian yang diadakan oleh himpunan Geografi UNM, dimana pembicara/narasumber kajian tersebut adalah seorang aktivis lingkungan yang memiliki wajah paras cuantik (Maaf, namanya saya lupa). Dari celoteh yang keluar dari lidahnya, ada satu pesan yang sampai sekarang mudah-mudahan saya masih ingat. Pesannya seperti ini: “Jangan mengaku sebagai mahasiswa geografi kalo tindakan kalian masih merusak lingkungan, membuang sampah di sembarang tempat,.............”. ujarnya. Dari pemikiran otak kiri, kita mahasiswa setuju-setuju aja. Namun ketika “EGO” kita lagi-lagi terkuak keluar, kata-kata tersebut hanyalah sebuah hembusan angin lembut yang lewat di depan kita, tanpa jejak dan tanpa kesan. Yang jadi renungan bagi kita mahasiswa geografi, “Haruskah pemikiran kita selalu dilandasi dengan hawa nafsu? Renungkanlah wahai kawan.....!!!! Kesalahan yang kecil yang terus dilakukan akan menyebabkan kerugian besar pada diri kita dan orang lain.
Untuk membuat masa depan tersebut menjadi terkabulkan memang membutuhkan pengorbanan yang cukup besar. Namun bukan berarti itu tidak dapat terlaksana. Di beberapa daerah pedalaman, “kearifan lokal” dari suatu masyarakat dalam menjaga alam ini masih dapat kita lihat. Sebagai contoh, di suatu daerah pedalaman (kalo tidak salah, daerah itu adalah wilayah kajang di Sulsel), menerapkan suatu aturan yang mewajibkan penduduknya untuk menanam pohon dengan jumlah 2 kali lipat dari jumlah pohon yang ditebangnya. Tentu saja penerapan dari norma ini sangat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan. Yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan kawan-kawan sekalian yang memiliki pendidikan yang jauh lebih tinggi dari masyarakat desa tersebut, yang mana pengetahuan akan lingkungan dan dampak-dampaknya lebih kita ketahui dari mereka? Secara logika, jawabnya adalah kita seharusnya lebih menerapkan tindakan tersebut. Trus, bagaimana fakta yang terjadi di lapangan??? Apakah demikian?? Jawabnya ada di kepala kalian.
Seorang pemikir geografi pernah berkata: “jangan pernah mencoba untuk melawan alam, tetapi cobalah untuk membimbingnya. Namun ketika anda mencoba untuk melawannya, niscaya anda akan hancur”. Apa artinya??? Ini merupakan suatu ultimatum dalam menghadapi alam. Semakin besar perlawanan dan tindakan merusak yang dilakukan oleh manusia, maka semakin besar pula serangan balik dari alam. Perlakuan manusia terhadap alam ibaratnya seperti bumerang yang saat dilempar ke udara akan kembali kepada orang yang melemparnya. Untuk itu, agar malapetaka dapat terhindari, maka cobalah untuk membina alam ini, yang tadinya telah hampir mengalami kerusakan, maka kita sebagai manusia harus memiliki kesadaran dalam memperbaiki keadaan tersebut. Banyak bencana yang terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Sebagai contoh kecil, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, terkadang alam dijadikan tumbal, dimana banyak dilakukan penebangan hutan ilegal, pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah aturan, dan penggalian tanah secara sembarangan untuk keperluan bahan timbunan. Akibatnya apa? Bencana tanah longsor, banjir, dan kekeringan terjadi di wilayah tersebut. Ujung-ujungnya kan manusia juga yang kena......! hanya karena ingin mendapatkan keuntungan yang kecil, malah dapat kerugian yang cukup besar.
Oh iya, saya pernah mengikuti suatu kajian yang diadakan oleh himpunan Geografi UNM, dimana pembicara/narasumber kajian tersebut adalah seorang aktivis lingkungan yang memiliki wajah paras cuantik (Maaf, namanya saya lupa). Dari celoteh yang keluar dari lidahnya, ada satu pesan yang sampai sekarang mudah-mudahan saya masih ingat. Pesannya seperti ini: “Jangan mengaku sebagai mahasiswa geografi kalo tindakan kalian masih merusak lingkungan, membuang sampah di sembarang tempat,.............”. ujarnya. Dari pemikiran otak kiri, kita mahasiswa setuju-setuju aja. Namun ketika “EGO” kita lagi-lagi terkuak keluar, kata-kata tersebut hanyalah sebuah hembusan angin lembut yang lewat di depan kita, tanpa jejak dan tanpa kesan. Yang jadi renungan bagi kita mahasiswa geografi, “Haruskah pemikiran kita selalu dilandasi dengan hawa nafsu? Renungkanlah wahai kawan.....!!!! Kesalahan yang kecil yang terus dilakukan akan menyebabkan kerugian besar pada diri kita dan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar